Minggu, 26 April 2009

One Single Drop of Tear

Pernah menangis..??

Well, pastilah. Entah karena jempol kakinya kegilas kereta (ewww hahaha), diledekin jomblo abadi (haa.. ada yg sampe nangis??) ditabokin oknum guru (ckckck), terkena KDRT stadium IV, jadi korban kebakaran, ataupun cuma kalah duel. Ah, iya tak lupa pula ada tangis-tangis bahagia syalalalala pas kebagian BLT (???) ato pas ada sesuatu yg sedemikian membahagiakan kita (misalnya tiba-tiba ditunjuk jadi ranger merah hihihi)

Yang jelas, semua orang pernah menangis..


Saya berusaha untuk menjauhkan diri dari membahas budaya orang-orang Jepang yang 'sedemikian tegar'-nya menganggap tangis itu hal yang tidak berguna (anak-anak mereka dilatih untuk tidak gampang menangis huehuehue style gitu) karena kali ini saya hendak ngelantur seputar soal setetes air yang keluar dari sela-sela telinga, eh maksudnya kelopak mata kita.

Fokusnya kali ini adalah menangis saat seseorang yang kita cintai meninggalkan kita (wee.. sok cinta haha)..

Tadinya saya sama sekali tidak menyadari pentingnya hal ini. Saya sendiri sebagai (ehm) cowo menganggap tangis adalah cermin ketidakjentelan seseorang.. Cemen, begitu. Saya tidak pernah lagi meneteskan air mata sejak tahun 2004 (weleh.. diitung).. Ya, selain karena saya cukup beruntung gak pernah terlibat cukup banyak konflik, tidak pernah menonton sinetron atau film India dengan serius; saya juga selalu berusaha untuk 'menghapus' segala perasaan meluap yang kemungkinan dapat memicu tangis..

Saya tidak menangis saat berpisah dengan guru sekaligus teman yang sangat saya sayangi..

Saya tidak menangis saat Ayah saya Me******(disensor karena ada muatan KDRTnya) saya akibat kesalahan-kesalahan sepele saya dalam mengurusi rumah..

Saya tidak menangis saat perpisahan SMA..

Saya tidak menangis waktu jauh dari rumah (Percaya ato nggak tetangga kamar saya setiap malam jumat ngadain acara menangis selama 20 menit-an segera setelah Yasinan, karena kangen sama orangtuanya)

Dan saya tidak menangis bahagia saat lulus SNMPTN di UNY (mengingat perjuangan yang 'berdarah-darah'). Tak pula saya menangis kecewa karena faktorXXX menyebabkan saya tidak bisa melanjutkan kesana.

Tapi hanya karena mimpi di siang bolong, saya menangis..

EZZZZ... Kenapa bisa begitu??

Terlepas dari fakta bahwa kita tidak pernah bisa mengendalikan emosi saat tidur, ataupun memang sebuah skenario yang sangat sangat mengharukan baru saja merasuki pikiran saya; sore itu saya meneteskan air mata setelah sekian lama.

Ceritanya simpel, seorang perempuan meninggalkan saya. Dia bukanlah Ibu saya. Hanyalah satu dari sekian perempuan di muka bumi yang sedetik senyumnya bisa meluluhlantahkan ego saya selama-lamanya. Faktanya di dunia nyata, saya adalah makhluk yang (sudah menjadi rahasia umum) sangatlah jail dan iseng terhadapnya. Tapi dia selalu sabar. Nggak ada sesaatpun waktu yang pernah dia luangkan untuk cemberut kepada saya. Selalu tersenyum, selalu tersenyum. Dan saat dia meninggalkan saya, saya menangis..

CEMEN!! Hahaha kena deh.. Sejak itu saya mulai sadar nilai dari setetes air yang kandungan garamnya tinggi (gak penting) ini demi seseorang yang sangat kita sayangi..

Saya adalah tipe makhluk yang nggak banyak memperhatikan perasaan orang lain. Dulu waktu Ibu saya sakit dan susahnya setengah mati minum obat, saya hanya geleng-geleng dan mengurusinya dengan setengah hati, sampai pernah terlontar pertanyannya

"Sayang, kalo Ibu mati kamu nangis gak??"

"???" (bingung mode)

"Nggak" saya menjawab tanpa perasaan bersalah dan muka rata (ahahaha)

Saya lantas menjelaskan kepadanya betapa menangis itu sesuatu yang cemen blablabla..

Waktu itu beliau hanya mengangguk prihatin

"Lah, kalo aku mati duluan Ibu nggak bakal nangis khan??" Aku balas menyahut

"Tergantung, kalo sekaratnya lama dan ngabisin biaya Ibu bakal nangis karena tekor ngurusin kamu"

"Kalo kamu mati karena ikut-ikutan demo Ibu gak bakalan nangis, sukurin tuh uda cape-cape dikuliahin malah keluyuran di jalan. Mayat kamu bakal Ibu hanyutin di kali" Wakakakak Ibu saya becandanya suka aneh gitu.

Saya cekikikan lalu cemberut total karena trus disuruh mijetin kakinya. Joke si Ibu emang mahaaal bayarannya..

Saya tak pernah berpikir bahwa kalo mati nanti ada yang nangisin.

Selain karena emang hidup yang penuh kejailan, siapa pula saya?? apa pula arti eksistensi diri ini bagi orang lain??

Saya bukan seorang kapiten..mfff.. bukan pula pahlawan bangsa. Bukan orang yang disayang keluarga, dan bukan pula sahabat yang berguna. Jadi ngga heran kalo saya mati gak ditangisin orang-orang..

Tapi sejak airmata saya menetes terakhir kali tadi, saya mulai merasakan bahwa betapa menangisi kepergian seseorang adalah sebuah penghargaan, wujud kasih sayang yang belum terlampiaskan, apresiasi orang lain bahwa setidaknya eksistensi si anu pernah memiliki arti jauh di dasar hati mereka, serta bentuk ketidakrelaan mereka terhadap kepergian yang ditangisi

Saya tak lagi mencemooh tangisan-tangisan para gadis yang ditinggal kekasihnya. Saya bisa mengerti betapa 'raungan berbalut airmata' seorang cewek di acara Termehek-mehek saat tahu kekasihnya sudah nggak hidup lagi adalah perwujudan cinta dan penyesalan yang nggak tersampaikan (weleh.. ngomongnya)

wezz.. Akhirnya, saya tak bisa lagi memandang remeh tangisan semacam ini. Saya nggak lagi memandang menangis sebagai sesuatu yang rendah (kecuali terhadap kasus kayak mahasiswa digigit nyamuk terus nangis sampe guling-guling hehe)..

Saya tak akan lagi menahan tangis, jika memang diperlukan. Setidaknya untuk mendramatisir suasana:)

Saya menyesal sudah menahan haru, saat seorang sahabat tersedu-sedu saat saya harus meninggalkan dia.

Saya menyesal pernah masang ekspresi tak berdosa, tersenyum mengejek kearah sepasang mata sembab seorang gadis yang mengadu baru saja ditinggal pacarnya..

Tapi tetap saja..

Saya nggak percaya dan nggak ingin ada orang yang menangis..

Saat saya mati nanti..

Karena sekali lagi, saya bahkan bukan orang yang layak untuk ditangisi..

Biar saja, saya datang dan mengada semaunya.. Pergi dan menghilang juga sekenanya..

Saya bukan siapa-siapa.. Hanya tukang corat-coret yang sangat senang melantur apa sukanya..

Beginilah perkembangan hidup, apa adanya..

Tidak ada komentar: